Jakarta — Dalam buku yang berjudul “Dasar-dasar Ilmu Politik” menyatakan bahwa politik adalah usaha-usaha untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Politik dalam suatu negara berkaitan dengan masalah kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan publik (public policy), dan alokasi atau distribusi (allocation or distribution).
Tidak dapat disangkal bahwa dalam pelaksanaannya, kegiatan politik juga mencakup segi-segi negatif. Hal ini disebabkan karena politik mencerminkan tabiat manusia, baik nalurinya yang baik maupun nalurinya yang buruk. Tidak heran jika dalam realitas sehari-hari acapkali berhadapan dengan banyak kegiatan yang tak terpuji, atau seperti yang dirumuskan oleh Peter Merkl bahwa Politik dalam bentuk yang paling buruk, adalah perebutan kekuasaan, kedudukan dan kekayaan untuk kepentingan diri sendiri.
Dalam politik, Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan bentuk pengejawantahan paling dasar dalam kehidupan demokrasi. Dimana demokrasi yang lahir dari reformasi saat ini telah menjadikan Indonesia sebagai negara dengan sistem multi partai yang menyebabkan suara rakyat menjadi terpecah belah. Padahal melalui pemilu, rakyat dapat menyalurkan suaranya dan terlibat dalam proses transisi kepemimpinan bangsa. Maka pemilu harus dilaksanakan secara akuntabel dan menempatkan rakyat secara tepat di atas kepentingan politik atau golongan.
Terkait pemberlakuan ambang batas dalam pencalonan pasangan presiden dan wakil presiden atau lazim disebut Presidential Treshold. Pasal 9 UU No 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden menetapkan aturan bahwa pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% suara sah nasional pada pemilu DPR sebelumnya.
Aturan ini berlaku sejak Pemilu 2004 dan konsisten diberlakukan sampai sekarang, namun masih menjadi polemik di berbagai kalangan pemerhati hukum dan konstitusi di Indonesia. Penulis akan memaparkan analisis yuridis, filosofis, sosiologis serta keterkaitannya dengan relevansi Presidential Threshold dalam sistem pemilihan umum presiden dan wakil presiden di Indonesia.
Secara yuridis, pemberlakuan Presidential Threshold tidak sejalan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan: “Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.” Tafsir gramatikal dan tekstual dari pasal ini menggambarkan bahwa setiap partai politik peserta pemilu berhak mengajukan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden serta tidak memberikan pengecualian, apalagi batasan terhadap partai politik peserta pemilu untuk mencalonkan pasangan presiden dan wapres.
Dengan diberlakukannya ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden, artinya hukum membatasi hak seseorang untuk dipilih dan maju dalam pencalonan presiden dan wakil presiden karena tersendat untuk mencapai presentase angka paling sedikit 20% dari jumlah kursi di DPR. Padahal fakta menunjukkan untuk mencapai angka 20% bukanlah hal yang mudah, bahkan beberapa partai politik besar saja harus berkoalisi dahulu dengan sesamanya untuk mencapai angka 20% tersebut. (*)