Jakarta – Direktur Eksekutif Center for Youth and Population Research (CYPR) Dedek Prayudi menilai Anies Baswedan gagal total memimpin sebagai Gubernur DKI Jakarta. Menurut dia, hal itu diperkuat dengan dalih Anies Baswedan yang menginginkan perpanjangan waktu memimpin Jakarta.

“Permintaan tambahan waktu hanya sebuah konfirmasi bahwa Pak Anies gagal di masa jabatan yang diberikan,” beber Dedek, Jumat (14/10) yang lalu. Uki, sapaan akrabnya, menjelaskan program untuk menanggulangi banjir pun tidak berjalan hingga sekarang.

Menurutnya, program naturalisasi sungai hingga sumur resapan tidak dimaksimalkan oleh gubernur. Oleh karena itu, dia merasa Anies Baswedan memang sudah gagal memimpin daerahnya. “Kalau gagalnya sedikit, ya, masih sedikit maklum. Ini seperti tim sepak bola yang kalah 10-0, gagal total,” jelasnya.

Selain itu, dia menduga masih ada program yang kuat sebagai tindak korupsi, yakni DP 0 persen. Dengan demikian, dia meyakini bahwa Anies Baswedan tidak mampu memimpin Jakarta, meski meminta tambahan waktu. “Belum lagi pusara korupsi di program unggulan Pak Anies seperti rumah DP 0,” imbuhnya.

Sementara itu, Pengamat tata kota dari Universitas Trisaksi, Nirwono Yoga, mengatakan banjir yang merendam sejumlah permukiman warga tahun ini terjadi di lokasi yang berdekatan dengan sungai. Sebut saja di kawasan Kemang hingga Sudirman yang disebabkan luapan air dari Sungai Krukut, kemudian daerah Kedoya akibat meluapnya Kali Pesanggrahan, lalu sekitaran Cipinang, Kebon Pala, Rawajati yang terdampak dari luapan Kali Sunter.

Merujuk pada hal itu, menurut Yoga, solusi yang harus dilakukan Pemprov DKI Jakarta yakni pembenahan 13 sungai besar. Program pembenahan sungai-sungai itu, katanya, sudah dilakukan sejak era Gubernur Fauzi Bowo hingga Basuki Tjahaja Purnama dengan koordinasi bersama Kementerian Pekerjaan Umum.

Pemprov DKI Jakarta bertugas untuk pembebasan lahan di bantaran sungai dan merelokasi ke rumah susun (rusun) kemudian Kementerian PU yang melakukan pengerukan dan pelebaran. Hanya saja program itu terhenti sejak tahun 2017 atau persis saat Gubernur Anies Baswedan menjabat.

“Sayangnya program ini berhenti sejak tahun 2017 karena pilihan politik. Keengganan Gubernur Anies untuk membebaskan lokasi atau lahan dan terjebak pada perdebatan konsep naturalisasi atau normalisasi,” ujar Nirwono Yoga. (*)