Oleh : Abner Wanggai )*

Aksi yang dilancarkan oleh Kelompok Separatis Teroris (KST) merupakan bentuk kekejaman terhadap HAM. Seperti menembak guru, membakar rumah guru, sekolah dan rumah kepala suku.

Jika selama ini KKB menyatakan berjuang untuk melepaskan Papua dari NKRI, aksi tersebut nyatanya hanya membuat masyarakat takut, kenyataannya rakyat sipil menjadi korban kekerasan dan penembakan.
Sebelumnya, Kapolda Papua, Irjen Paulus Waterpauw, mengatakan KKB merupakan sekelompok orang yang sering bergerombol dan melakukan gangguan keamanan. Paulus menegaskan bahwa dirinya selalu mengkategorikan KKB sebagai free man. Hidupnya hanya melakukan kekerasan, menakutkan semua orang, mengancam semua orang dengan senjata.

Pada Pertengahan 2020 lalu, sedikitnya dua petugas medis tim gugus tugas Covid-19 ditembak oleh KKB di Kabupaten Intan Jaya, Papua. Satu orang korban meninggal dalam kejadian tersebut. Tenaga medis tersebut tergabug dalam tim gugus tugas Covid-19 dan mengemban amanah mulia. Sebelumnya Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) sempat berulah dengan membakar satu unit pesawat komersil milik PT MAF di Intan Jaya, Papua.

Aksi brutal tersebut dimulai dengan adanya penembakan terhadap beberapa pesawat sipil termasuk beberapa hari yang lalu dilakukan penembakan terhadap pesawat helikopter PT Freeport Indonesia dan saat ini dilakukan pembakaran pesawat MAF. Tentu saja kekejaman yang dilakukan KST yang dulu disebut KKB tidak bisa ditolerir lagi. Negarajuga harus segera berbuat atau bertindak. Agar korban jiwa di kalangan masyarakat Papua tidak lagi berjatuhan, negara harus bertindak tegas dan terukur.

Ketika negara bertindak tegas dan anggota KKB menyerah, mereka harus dihadapkan ke proses hukum untuk mempertanggungjawabkan aksi kekerasan bersenjata yang meraka lakukan selama ini. Sebaliknya, jika tindakan tegas negara direspons dengan serangan bersenjata yang mematikan oleh KKB, tidak salah juga jika prajurit TNI-Polri pun melancarkan serangan balasan atas nama bela negara dan melindungi segenap tumpah darah.

Eksistensi KST di Papua dengan semua aksi kebrutalannya selama ini pasti menimbulkan rasa takut yang tak berkesudahan bagi warga setempat. Tidak salah jika warga Papua meradang dan mengekspresikan kecemburuan mereka terhadap saudara-saudaranya sebangsa dan setanah air di wilayah lain yang boleh menikmati dinamika kehidupan normal tanpa rasa takut oleh serangan dadakan dari KKB.

Dengan adanya kekejaman yang sudah jelas melanggar HAM, tentu saja negara wajib hadir dengan tujuan yang jelas, yakni melindungi warga Papua agar bisa menjalani kehidupan dengan normal, tanpa dibayang-bayangi teror dan ketakutan. Ketika Papua kembali damai dan kondusif, pemerintah bisa dengan tenang melanjutkan pembangunan di wilayah ujung timur NKRI. Memerangi dan membebaskan Papua dari beragam teror dan kejahatan kemanusiaa oleh KST merupakan wujud nyata bagi negara untuk melindungi hak dasar masyarakat Papua.

Perlu diingat bahwa Statuta Roma dan UU RI No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, memasukkan pembunuhan ke dalam kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran HAM berat. Tercatat, KKB juga telah melancarakan timah panas kepada warga sipil sinak, Kabupaten Puncak, Papua. Kepala Penerangan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) III Kolonel CZI IGN Suriastawa mengakui adanya insiden penembakan yang dilakukan KKB dengan korban 2 warga sipil, dimana seorang diantaranya meninggal dunia. Kedua korban yakni Amanus Murib yang mengalami kondisi kritis, sementara Atanius Murib meninggal dunia.

Aksi kriminal tersebut diduga bermotif intimidasi dari KKB kepada masyarakat, karena aksinya selama ini tidak mendapat dukungan dari warga setempat serta berbagai upaya memutarbalikkan fakta dengan menuduh aparat keamanan sebagai pelakunya.

Pemutarbalikan fakta dan playing victim melalui media massa selalu menjadi trik dari kelompok pro KKB dan pendukungnya di dalam dan luar negeri untuk menyudutkan pemerintah Indonesia.
Aksi kekejaman KST sudah banyak tersiar di berbagai media, mereka juga memiliki senjata yang bisa digunakan untuk mengancam dan melakukan perlawanan terhadap aparat keamanan yang tengah bertugas.

Oleh karena itu, negara harus hadir untuk menjaga keamanan di Papua, jangan sampai warga sipil di Papua menjadi korban kekejian kelompok separatis yang memiliki rekam jejak sebagai biang onar di Papua.

)* Penulis adalah mahasiswa Papua tinggal di Yogyakarta

Oleh : Rebecca Marian )*

KST kembali berulah dengan menembak warga sipil di daerah Yakuhimo, Papua. Kekejaman KST membuat masyarakat makin antipati, karena mereka nekat membunuh warga asli Papua. Oleh karena itu, mereka harus dibawa ke pengadilan, karena melanggar HAM berat.

KST identik dengan kelompok yang melakukan berbagai penyerangan, baik ke warga sipil maupun aparat. Masyarakat asli Papua sendiri pun tidak suka dengan mereka karena bertingkah sok jagoan tetapi lari tunggang-langgang saat dikejar oleh aparat. Mereka juga melakukan pembunuhan keji, baik pada aparat maupun warga sipil sendiri.

Tanggal 25 juni 2021 adalah hari yang mencekam di Kampung Bingki, Kabupaten Yakuhimo, Papua. Danrem 127/PWY Brigjen TNI Izak Pangemanan menyatakan bahwa ada 4 orang pekerja bangunan yang meninggal karena ditembak oleh KST, yakni Suardi, Sudarto, Idin, dan Ipa. Mereka akan dievakuasi dengan helikopter. Sedangkan Kepala Kampung yang juga tertembak, dalam kondisi kritis.

Penduduk Kampung Bingki yang lain sudah mengungsi ke ibukota Kabupaten Yakuhimo. Proses pengungsian tentu dikawal terus oleh aparat. Terlebih, takutnya ada anggota KST yan kembali untuk melakukan teror.

Kekejaman KST tentu sudah dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat. Penyebabnya karena mereka bukan kali ini saja melakukan penembakan ke masyarakat sipil. KST berkali-kali menyerang warga, mulai dari yang berstatus sebagai tukang ojek, murid, hingga guru. Modusnya sama, yakni menuduh mereka sebagai mata-mata aparat, padahal bukan.

Masyarakat sipil yang ditembak tentu tak bisa melawan karena tidak punya senjata untuk membela diri. Oleh karena itu wajar jika KST dianggap melanggar HAM, karena melakukan pembunuhan tentu sebuah tindakan tak terpuji dan melanggar aturan. Mereka terancam hukuman 20 tahun penjara atau kurungan seumur hidup.

Masyarakat Papua sendiri juga setuju ketika KST didakwa atas kasus pelanggaran HAM. Penyebabnya karena mereka tidak bisa beraktivitas dengan normal gara-gara ancaman KST. Apalagi sebagian korban yang ditembak adalah warga Papua sendiri, sehingga mereka memperlihatkan kekejaman karena membunuh saudara sesukunya sendiri.

Selain menembak warga sipil, KST juga berkali-kali menyerang aparat terlebih dahulu. Ini juga sebuah pelanggaran HAM, karena aparat bertugas untuk menjaga keamanan Papua, tetapi malah diserang dengan sniper atau modus yang lain. Bagi KST, aparat adalah representasi pemerintah, jadi dianggap musuh oleh mereka.

Dengan bukti-bukti ini maka sudah jelas kalau KST melanggar hak asasi manusia di Papua, karena melakukan berbagai aksi. Mulai dari pengancaman, penembakan, hingga pembunuhan. Jika terus dibiarkan akan berbahaya, karena membuat kehidupan warga sipil jadi tidak aman.

Tuduhan KST bahwa aparat yang melanggar HAM salah besar. Aparat tidak pernah menembak warga sipil saat kontak senjata, karena tahu beda antara masyarakat biasa dengan anggota KST. Netizen di seluruh dunia perlu tahu akan hal ini dan tidak terjebak oleh berita atau foto palsu yang sengaja disebar oleh KST, untuk propaganda mereka.

Satgas Nemangkawi dan aparat lain berusaha keras untuk menangkap tiap anggota KST, agar tercipta perdamaian di Papua. KST harus diberantas karena sudah terbukti melanggar HAM dan melakukan berbagai tindakan keji. Mereka tak bisa dibiarkan begitu saja, karena jika masih berkeliaran akan membahayakan posisi warga sipil.

Kekejaman KST sudah jelas menunjukkan bahwa mereka melakukan pelanggaran HAM. Oleh karena itu, KST masih terus diburu oleh aparat. Tidak benar bahwa penambahan jumlah aparat adalah sebuah pelanggaran HAM, karena hal ini ditujukan untuk mengamankan rakyat Papua. Masyarakat malah senang karena aparat terus bertindak cepat saat memburu KST.

)* Penulis adalah mahasiswa Papua tinggal di Yogyakarta

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Tjahjo Kumolo mendukung langkah pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tak menghadiri panggilan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Menurutnya, tes wawasan kebangsaan (TWK) tak ada hubungannya dengan pelanggaran HAM. “Kami juga mendukung KPK, misalnya, tidak mau hadir di Komnas HAM. Apa urusan kewarganegaraan itu urusan pelanggaran HAM,” ujar Tjahjo dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR, Selasa (8/6).

Aturan terkait alih status aparatur sipil negara (ASN), kata Tjahjo, sama aturannya dengan yang terjadi di KPK. Sama dengan ketika ia melakukan penelitian khusus (litsus) saat masuk sebagai anggota DPR.

“Dari sisi aturan itu, saya kira Pak Syamsul yang pernah jadi panitia litsus dan Pak Cornelis emang dari bawah sama plek aturannya,” ujar Tjahjo.

Hal ini juga ditambahkan oleh Pakar Komunikolog, Emrus Sihombing, mengatakan pelaksanaan TWK oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah sesuai dengan perundang-undangan, dan bukan merupakan pelanggaran HAM. Pelaksanaan TWK untuk alih status menjadi ASN merupakan perintah UU. Jadi, siapa pun pimpinan KPK pasti melakukan hal itu. KPK hanya melaksanakan UU.

“Masih sangat jauh dari kemungkinan tidak sesuai dengan atau potensi pelanggaran HAM. Materi TWK disusun berdasarkan basis keilmuan dari para pihak yang membuatnya. Banyak instrumen yang hendak diukur para pembuat TWK peralihan status pegawai KPK menjadi ASN, antara lain mengukur gradasi pengetahuan atau kesadaran, konstruksi sikap, bentuk perilaku, dan kepribadian terkait dengan kebangsaan,” pungkasnya.